Dua puluh empat, angka yang saya rasa aneh di telinga saya, tapi sepertinya harus mulai terbiasa dengan angka ini. Ya, karena umur saya sudah menginjak hampir seperempat abad. Saya masih g ngeuh lho umur saya udah segitu. Ternyata udah tua, udah harus lebih dewasa dan harus terbiasa dengan pertanyaan “Kapan nikah?”
Tapi pertanyaan itu malah tidak datang dari Orang tua saya, malah pas hari ultah ke 24 itu, Bapak & Mamah saya dengan kompak bilang, ‘nikahnya minimal 3 tahun lagi ya, kuliahnya beresin dulu..!!!’. Busyet dah 3 tahun euy, lami pisaaann. Secara teman-teman saya sudah banyak yang nikah n malah dh punya anak.
Mungkin Bapak melihat anaknya masih belum siap untuk sampai ke tahap itu pada saat sekarang. Dan saya pun sebenarnya menyadari hal ini, tapi kalau 3 tahun lagi, kelamaan Pak. Dengan kocak saya bilang ke Bapak “2 tahun deui atuh Pak, nawar, 3 tahun mah lila teuing, hahay..”
Ya, saya memang menargetkan maksimal tidak lebih dari 2 tahun lagi harus sudah punya pendamping, hehe.. Dua tahun menurut saya cukup lah untuk mencari yang kurang dalam diri saya untuk persiapan berumah tangga. Akhirnya si Bapak pun mengiyakan tanda setuju.
Do’akan yah, :d..
Selasa, 01 Februari 2011
9 Januari 2011
Pagi-pagi buta tanggal 9 Januari 2011 saya dapat kejutan dari orang-orang yang saya sayangi. Pagi itu seperti biasa si Uwa membangunkan saya untuk shalat Shubuh, sepertinya tidak ada yang aneh pada saat itu, saya bangun setelah beberapa kali panggilan uwa untuk bangun, kemudian saya mengambil air wudhu dan shalat shubuh di kamar.
Kebiasaan saya, setelah shalat shubuh saya biasa tidur lagi, heee… Tapi pagi itu ada yang janggal, si uwa dengan kocaknya ngintip saya dari balik jendela kamar, ada apa ini? Saya pun bertanya-tanya dalam hati. Ah, tapi sudah lah, saya pun kembali menjatuhkan badan ke kasur, mau melanjutkan mimpi malam itu yang terpotong teriakan si uwa.
Tapi tiba-tiba si Uwa kembali teriak memanggil minta di antar. Pas saya Tanya ‘Nganter kemana wa?’ si uwa malah jawab sekenanya ‘Antar kemana aja lah’. Makin bingung saya, ono opo iki.
Dan ketika saya buka pintu…….
Jeng..jeng.. ada kejutan yang g akan saya lupaka pokoknya, 2 orang hawa dengan cantiknya memegang kue di hadapan saya. Yang satu pasti lah si uwa, nah yang satu ini yang ga saya sangka-sangka, seorang hawa bernama Primita Agmarsha Rauben, perempuan yang sudah 2 tahun ini menjadi teman dekat saya, hehe… Yang g di sangka-sangkanya tuh dan yang saya tahu dia lagi liburan di Kuningan dengan teman-temannya, tiba-tiba saja pagi itu nongol di depan saya. Surprise n seneng bangeeeeetttt tentunya..
Yang saya inget, seumur-umur baru 2 kali saya dapet surprise pas hari ultah, pertama pas kelas 3 SMP dan yang ke-2 ya yang tahun ini. Sumpeh kaget banget n seneng banget. Makasih yh Uwa, Ade ^.^ dan satu lagi yang ikut merumuskan jebakan ini, si teteh Dedoy yang pas hari itu kebetulan ada acara ke Puncak. Coba kamu ada the, pasti lebih seru, heuheu.. Tapi makasih banget lho atas kejutannya n kadonya..
Tengkyu So Much n Luph u All..
Agama dan Masyarakat dalam Keberagaman Indonesia
Keberagaman adalah ciri khas Indonesia. Negara ini banyak memiliki suku, agama, budaya ras dan golongan, sehingga sejatinya Indonesia adalah negar multikultural.
Namun keberagaman yang mestinya dirayakan dengan penuh rasa syukur ini, dalam sejarah perjalanan berbangsa, kerap menjadi persoalan. Perjumpaan antara yang berbeda, sering terjadi tidak secara akrab. Saling curiga yang berbuntut pada permusuhan dan konflik sering tak bisa dihindari.
Maka, Indonesia butuh etika bersama dalam memaknai keberagaman tersebut. Sebuah sikap dan pemikiran yang memberi tempat bagi kehadiran ”the other” dalam pergaulan publik, perlu dikembangkan. Ini bukan langkah mudah. Sebab, agama-agama atau apapun yang saling berbeda itu akan berhadapan dengan tuntutan menjaga ”kemurnian” ajaran dan keyakinannya. Meski pada hal mendasarnya, karena tuntutan itulah sehingga sikap eksklusif yang tidak menerima kehadiran ”the other” menjadi pilihan dari antara yang berbeda itu.
Belakangan muncul sebuah paradigma yang disebut dengan ”multikulturalisme”. Sebelumnya, paradigma ”pluralisme” telah banyak dibicarakan maupun diusahakan dalam merespon semakin majemuknya dunia. Multikulturalisme memang baru dalam wacana dan diskursus pemikiran. Baru sekitar tahun 1970-an gerakan multikultural ini muncul. Pada masa awalnya ini, gerakan yang memberi apresiasi terhadap keberagaman, muncul di Kanada dan Australia, kemudian di Amerika Serikat, Inggris, Jerman dan menyebar di beberapa negara yang khas dengan pluralitas. Multikulturalisme sendiri dipahami sebagai sikap yang menerima dan menghargai eksistensi ”the others”, sebagai bagian dari keberagaman, dengan tidak mempersoalkan perbedaan budaya, etnik, jender, bahasa, ataupun agama.
Ada pertanyaan, apakah multikulturalisme bertentangan dengan agama? Menurut sumber artikel ini yang ditulis oleh, Nurul Huda Maarif, memang menganggap pertanyaan ini tidak mudah dijawab. Sebab, menurut dia, masih ada kecenderungan memahami multikulturalisme sebagai sesuatu yang bukan berasal dari dalam agama, sehingga harus ditolak. Sehingga, mencari titik temu antara konsep multikulturalisme dengan agama, adalah sesuatu yang sedikit sulit dilakukan, tapi bukan mustahil.
Sehingga, tidak berarti kesulitan itu kemudian membuntukan usaha mempertemukan antara agama dengan konsep multikulturalisme. Mengutip pendapat Mun’im A Sirry, Nurul Huda Maarif menemukan adanya dua pendekatan yang bisa dilakukan untuk mempertemukan keduanya. Pendekatan pertama adalah dengan cara melakukan interpretasi ulang terhadap ajaran atau doktrin-doktrin keagamaan ortodoks yang pada beberapa hal telah dijadikan oleh agama-agama tersebut sebagai alasan untuk bersikap eksklusif. Ini sebagai usaha untuk membuka cakrawala agama sehingga bisa beradaptasi dengan kenyataan keragaman kultur. Pendekatan kedua, bahwa agama perlu membuka diri pada gagasan-gagasan yang modern. Perlu ada modernisasi dalam agama dan hal beragama.
Barangkali akan muncul pertanyaan, mengapa harus multikulturalisme? Beberapa pendapat yang dikutip oleh Nurul Huda Maarif menunjukkan bahwa multikulturalisme memiliki visi yang mencerahkan dalam memberi petunjuk untuk memaknai agama secara benar dalam konteks masyarakat yang multikultul seperti Indonesia. Bahwa, multikulturalisme pada prinsipnya membuka ruang dalam sikap yang terbuka dengan penuh semangat persamaan bagi yang saling berbeda suku, ras, agama, golongan dan ideologi untuk hidup bersama dalam suatu arak-arakan kehidupan. Multikulturalisme juga menuntut adanya sikap keterbukaan untuk memaknai secara benar keyakinan yang dianut - tanpa harus dibenturkan dengan yang lain – dalam sebuah masyarakat yang multikultur. Visi multikulturalisme adalah terciptanya masyarakat yang multikultur dalam sebuah persamaan hak, berkeadilan, sejahtera dan damai.
Masyarakat Indonesia sebenarnya sejak jauh-jauh hari telah memaknai semangat menerima dan menghargai perbedaan, ketika bangunan negara ini memang berpondasikan keberagaman. Bhineka Tunggal Ika, mestinya dimaknai lebih dari sekedar wacana, sebab inilah konsep multikulturalisme Indoensia yang lahir bersama kelahiran republik ini. Jika semangat multikulturalisme itu diruntuhkan dengan semangat monokulturalisme, maka hancurlah bangunan Indonesia.
Sumber : http://id.shvoong.com/
Namun keberagaman yang mestinya dirayakan dengan penuh rasa syukur ini, dalam sejarah perjalanan berbangsa, kerap menjadi persoalan. Perjumpaan antara yang berbeda, sering terjadi tidak secara akrab. Saling curiga yang berbuntut pada permusuhan dan konflik sering tak bisa dihindari.
Maka, Indonesia butuh etika bersama dalam memaknai keberagaman tersebut. Sebuah sikap dan pemikiran yang memberi tempat bagi kehadiran ”the other” dalam pergaulan publik, perlu dikembangkan. Ini bukan langkah mudah. Sebab, agama-agama atau apapun yang saling berbeda itu akan berhadapan dengan tuntutan menjaga ”kemurnian” ajaran dan keyakinannya. Meski pada hal mendasarnya, karena tuntutan itulah sehingga sikap eksklusif yang tidak menerima kehadiran ”the other” menjadi pilihan dari antara yang berbeda itu.
Belakangan muncul sebuah paradigma yang disebut dengan ”multikulturalisme”. Sebelumnya, paradigma ”pluralisme” telah banyak dibicarakan maupun diusahakan dalam merespon semakin majemuknya dunia. Multikulturalisme memang baru dalam wacana dan diskursus pemikiran. Baru sekitar tahun 1970-an gerakan multikultural ini muncul. Pada masa awalnya ini, gerakan yang memberi apresiasi terhadap keberagaman, muncul di Kanada dan Australia, kemudian di Amerika Serikat, Inggris, Jerman dan menyebar di beberapa negara yang khas dengan pluralitas. Multikulturalisme sendiri dipahami sebagai sikap yang menerima dan menghargai eksistensi ”the others”, sebagai bagian dari keberagaman, dengan tidak mempersoalkan perbedaan budaya, etnik, jender, bahasa, ataupun agama.
Ada pertanyaan, apakah multikulturalisme bertentangan dengan agama? Menurut sumber artikel ini yang ditulis oleh, Nurul Huda Maarif, memang menganggap pertanyaan ini tidak mudah dijawab. Sebab, menurut dia, masih ada kecenderungan memahami multikulturalisme sebagai sesuatu yang bukan berasal dari dalam agama, sehingga harus ditolak. Sehingga, mencari titik temu antara konsep multikulturalisme dengan agama, adalah sesuatu yang sedikit sulit dilakukan, tapi bukan mustahil.
Sehingga, tidak berarti kesulitan itu kemudian membuntukan usaha mempertemukan antara agama dengan konsep multikulturalisme. Mengutip pendapat Mun’im A Sirry, Nurul Huda Maarif menemukan adanya dua pendekatan yang bisa dilakukan untuk mempertemukan keduanya. Pendekatan pertama adalah dengan cara melakukan interpretasi ulang terhadap ajaran atau doktrin-doktrin keagamaan ortodoks yang pada beberapa hal telah dijadikan oleh agama-agama tersebut sebagai alasan untuk bersikap eksklusif. Ini sebagai usaha untuk membuka cakrawala agama sehingga bisa beradaptasi dengan kenyataan keragaman kultur. Pendekatan kedua, bahwa agama perlu membuka diri pada gagasan-gagasan yang modern. Perlu ada modernisasi dalam agama dan hal beragama.
Barangkali akan muncul pertanyaan, mengapa harus multikulturalisme? Beberapa pendapat yang dikutip oleh Nurul Huda Maarif menunjukkan bahwa multikulturalisme memiliki visi yang mencerahkan dalam memberi petunjuk untuk memaknai agama secara benar dalam konteks masyarakat yang multikultul seperti Indonesia. Bahwa, multikulturalisme pada prinsipnya membuka ruang dalam sikap yang terbuka dengan penuh semangat persamaan bagi yang saling berbeda suku, ras, agama, golongan dan ideologi untuk hidup bersama dalam suatu arak-arakan kehidupan. Multikulturalisme juga menuntut adanya sikap keterbukaan untuk memaknai secara benar keyakinan yang dianut - tanpa harus dibenturkan dengan yang lain – dalam sebuah masyarakat yang multikultur. Visi multikulturalisme adalah terciptanya masyarakat yang multikultur dalam sebuah persamaan hak, berkeadilan, sejahtera dan damai.
Masyarakat Indonesia sebenarnya sejak jauh-jauh hari telah memaknai semangat menerima dan menghargai perbedaan, ketika bangunan negara ini memang berpondasikan keberagaman. Bhineka Tunggal Ika, mestinya dimaknai lebih dari sekedar wacana, sebab inilah konsep multikulturalisme Indoensia yang lahir bersama kelahiran republik ini. Jika semangat multikulturalisme itu diruntuhkan dengan semangat monokulturalisme, maka hancurlah bangunan Indonesia.
Sumber : http://id.shvoong.com/
Langganan:
Postingan (Atom)